Siti Zubaedah menelungkupkan wajahnya ke bantal. Airmatanya bercucuran deras dan hidungnya mampat oleh ingus. Orang-orang bisa saja mengira ia sedang berduka, patah hati, atau setidaknya ia habis menonton drama. Tapi, bukan. Perempuan berlesung pipit itu hanya sedang merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan asing itu dia sebut cemburu.
Ia datang seperti setan dalam film horor. Mendadak dan mengagetkan. Siti Zubaedah merasa seperti bayi. Hanya bisa menangis tanpa tahu harus berbuat apa. Di usianya yang bukan lagi remaja, cemburu seharusnya berbobot sama dengan soal matematika 1+1. Mudah ditaklukkan tanpa kalkulator. Nyatanya, Siti Zubaedah tak mampu berpikir jernih.
Beginilah ceritanya. Semua orang tahu Siti Zubaedah memelihara seekor kucing berbulu kuning keemasan. Kucing itu bernama Pampam. Siti Zubaedah mengambilnya dari pasar begitu saja karena rasa iba. Kemudian dipeiharalah kucing itu. Siti Zubaedah merawat Pampam dari kecil hingga berumur tiga tahun. Ia memberi makan kucing kesayangannya itu tiga kali sehari. Tak pernah telat. Saat Pampam masih kecil, tiap pagi Siti Zubaedah membuang kotorannya yang terkumpul di pasir. Pasirnya pun selalu dicuci dua hari sekali agar rumahnya tidak seperti kandang karena bau tai. Keduanya tidur sekasur tiap malam, meski tidak lagi setelah Pampam dewasa dan pandai berburu betina untuk dikawini.
Sejak Pampam hadir dalam kehidupannya, hari-hari Siti Zubaedah lebih berwarna. Ia punya teman yang bisa diajak bicara walaupun Pampam tak pernah mengajaknya berkomunikasi kecuali saat lapar dan butuh pelukan. Namun, dua kebutuhan itu cukuplah membuat Siti Zubaedah senang dan merasa ‘hidup’. Di dunia ini, barangkali Pampamlah yang menjadi cinta untuk perempuan yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah itu. Siti Zubaedah bahkan tak sanggup meninggalkan rumah barang beberapa jam. Ia selalu gelisah dalam kerumunan orang. Pikirannya hanya ada di rumah.
Kerap, ketika ia sedang bepergian, ia memikirkan betapa menyenangkannya bisa duduk bersama Pampam di sofa, membelai bulu emasnya yang halus, menciumi tengkuknya yang berbau tanah, dan menyiapkan makanan untuk kucingnya itu. Siti Zubaedah tidak pernah keberatan menjadi budak. Perasaan-perasaan seperti itu, tak pernah ia rasakan pada manusia. Tak ada yang lebih nyaman bagi Siti Zubaedah selain bisa menghabiskan hari dengan Pampam. Barangkali ia sekadar mendengarkan dengkuran halus saat kucingnya tertidur atau mendapat cakaran di kulitnya yang bersih saat Pampam bermain-main, namun hati Siti Zubaedah menjadi tenang setelahnya.
Lalu datanglah seorang kawan ke rumah Siti Zubaedah pada suatu hari. Pampam yang tak biasa bermanja dengan orang lain selain si pemberi makan, hari itu menunjukkan sikap yang berbeda. Saat Siti Zubaedah memanggilnya, kucing berekor bengkok itu tidak memedulikan. Ia berjalan ke arah kawan Siti Zubaedah yang bernama Marni. Siti Zubaedah merengkuhnya, namun Pampam berontak. Tak seperti biasa, ketika Siti Zubaedah membopongnya seperti bayi, Pampam langsung mendengkur. Kali ini Pampam melompat dari pelukan. Ia mendekati Marni yang sibuk menata barang dagangannya di meja ruang tamu Siti Zubaedah.
Pampam bergelut manja di atas pangkuan Marni. Siti Zubaedah merasa cemas ketika Marni mulai mengelus dagu dan punggung kucingnya. Dia ingin merebut Pampam dari pangkuan Marni, tapi bukankah itu lucu ketika dua orang yang sama-sama dewasa berebut kucing. Niatnya urung, ia hanya mampu memandangi betapa nyamannya Pampam dalam pelukan Marni. Sama nyamannya ketika Pampam berada dalam pelukannya. Siti Zubaedah bahkan mampu melihat Pampam lebih nyaman berada dalam dekapan Marni ketimbang dekapannya.
“Kembalikan kucingku,” jerit Siti Zubaedah dalam hati. Namun, kata-kata itu hanya membuat lehernya tercekat dan matanya panas.
Siti Zubaedah menyingkir dari ruangan itu. Ia ke dapur untuk membuat dua cangkir teh untuk tamunya dan dirinya sendiri. Sesekali dari pintu ia mengawasi Marni dan Pampam. Namun, kucing itu masih belum bergeser dari kenyamananya. Siti Zubaedah bertambah gelisah. Ia menyajikan teh untuk Marni sambil melirik Pampam.
“Pampam kok manja banget sama tamu ya..” ujar Siti Zubaedah.
“Lucu sekali kucingmu, Dah. Aku belum pernah bertemu kucing yang seperti ini. Aku berkali-kali memelihara kucing, tapi Pampam istimewa. Bagaimana caramu merawatnya?”
Siti Zubaedah tersenyum getir. Separuh hatinya senang karena pujian, separuhnya lagi pecah seperti gelas yang habis dibanting karena menyaksikan kemesraan itu.
“Mungkin karena dirawat sejak kecil,” kata Siti Zubaedah.
Tak lama kemudian, setelah Siti Zubaedah membeli barang dangangan Marni, perempuan berkerudung itu pamit pulang. Pampam enggan bergeser. Siti Zubaedah terpaksa mengangkatnya dari pangkuan Marni. Setelah itu, diantarnya Marni sampai gerbang. Anehnya, Pampam menguntit di belakang lalu duduk di teras sambil memandangi Marni.
“Sampai ketemu lagi, Pampam!” Marni melambaikan tangan sambil tertawa senang.
Selepas tamunya menghilang dari pandangan, Siti Zubaedah masuk kamar. Ia menangis sejadinya. Seumur-umur, baru sekali perasaannya diaduk-aduk seperti ini. Ia tidak pernah merasakan cemburu pada siapapun dan apapun sebelumnya. Siti Zubaedah tidak pernah mengenal apa itu cemburu. Ia cukup senang berbagi apapun dengan orang lain, terlebih bisa menyenangkan orang lain. Tapi, kali ini ia tidak suka ketika melihat kawannya senang. Apalagi kesenangan itu disebabkan oleh Pampam. Kucing yang paling ia cintai.
Untuk pertama kalinya ia marah dan kecewa pada Pampam. Namun, ia tak tahu harus berbuat apa. Pampam hanya seekor kucing. Ia bebas memilih. Ia tak bisa diatur. Ia tak bisa dilarang. Meski hati Siti Zubaedah tak rela.
“Meowng.. meowng..”
Pampam mendekati majikannya yang sedang bersedih hati. Siti Zubaedah hanya memandanginya dengan mata sembab.
“Meowng.. meowng..” sekali lagi Pampam mengajaknya bicara.
Entah mengapa Siti Zubaedah luluh. Ia melebarkan tangannya dan Pampam menghambur ke pelukannya seperti biasa. Hari itu Siti Zubaedah belajar satu hal bahwa cemburu adalah anak emas dari cinta. Semua manusia akan merasakan cemburu, sebagai pertanda ia pernah mencintai.