Untuk Kau yang Tak Bisa Kusebut

Gambar diambil dari sini.

Hai, kau yang tak pernah bisa kusebut; nyata.
Apakah dingin masih menyelimuti kotamu yang sepi? Apakah sakit di pinggangmu sudah pulih? Apakah ibumu menanyakan aku saat ia mengurut tubuhmu? Apakah kamu masih sibuk menulis surat untukku? Ah, entah mengapa banyak sekali yang kutanyakan. Aku memang cerewet saat menulis, tapi tidak ketika nafasmu menyusup lewat gelombang telepon. Kau tahu, itu karena aku sibuk berbahagia.

Tak banyak yang ingin kutumpahkan di sini. Barangkali sedikit kekesalan yang kujumpai sehari-hari di jalan, di kedai kopi, di mini market, atau dalam lingkaran pertemanan. Seperti yang selama ini kau tahu, barangkali aku termasuk orang yang terbiasa menyimpan banyak kekesalan dalam hati. Kadang-kadang malah salah menumpahkan kemarahan pada hal-hal yang tak seharusnya. Hampir selalu begitu.

Aku bukan orang mudah ditindas sebenarnya. Tetapi sering bermasalah dengan hal-hal kecil yang dimaklumi orang lain atau mungkin tidak dipedulikan orang lain. Ya, sedikit aneh. Tapi begitulah aku. Belakangan, aku sering dibuat kesal oleh pengendara-pengendara sepeda motor yang seenaknya. Kau tahu kan seenaknya? Pengendara yang tak memakai helm, remaja berseragam yang kebut-kebutan dengan piranti yang dibeli orang tua dengan keringat dan air mata, berhenti di luar markah saat lampu merah menyala, ah! Sungguh aku ingin marah!

Aku benci polisi yang bergeming, meski aku tahu alasan mengapa mereka bersikap seperti itu. Tetap tak bisa kumaafkan. Mereka bikin aku darah tinggi. Mereka bikin aku mual. Maka, ketika aku punya kesempatan untuk mendamprat pemakai jalan, kugunakan sebaik-baiknya. Aku sering berteriak, “Lihat markah tidak?? Bego!” sambil membuka kaca helmku. Seorang bapak kaget dan berteriak menghardik. Aku menyumpahi dia mati! Kepada anak muda era twitter yang otaknya sebesar kerikil, aku sering mengajak mereka adu mulut di jalan, “Pakai helm kalau nggak pengin otak kocar kacir di jalan!”. Oh Tuhan, aku seperti orang gila. Tak apa, hanya “seperti” buka benar-benar gila.

Apakah kau menyesal mengenalku yang dikutuk para pengguna jalan lantaran sering membuat mereka naik pitam? Kota ini mulai sesak. Lahan-lahan kosong, bukit-bukit yang dipapras, semua itu disulap jadi festival urban yang marak dipamerkan di pertokoan. Perumahan-perumahan menjelma jadi cendawan di musim kemarau yang gersang. Pohon-pohon tumbang oleh ambisi. Anak-anak tak punya lapangan untuk bermain bola dan layang-layang. Padatnya penduduk membuat aku sesak nafas. Itulah sebab aku ingin lekas kaya. Aku ingin membeli perumahan-perumahan itu lalu kuhancurkan seketika dan kujadikan kebun kota. Ya ampun, lihatlah, aku sungguh menyedihkan.

Masihkah kamu mau membaca sumpah serapahku? Baiklah akan kulanjutkan. Aku marah pada mini market yang menipu konsumen dengan menempel label harga palsu. Aku marah karena harus mengumpulkan permen dari uang kembalian. Aku marah pada orang yang menyerobot antrian di kasir. Aku marah pada mini market yang membuat toko kelontong menjadi mahal dan tidak laku. Aku benci cara mereka memonopoli harga. Aku benci acara investigasi di televisi yang membuat orang-orang takut pergi ke toko kelontong dengan alasan maraknya pemalsuan produk. Acara yang menggiring kita untuk masuk ke dalam sensasi peradaban yang menjual kenyamanan. Aku benci hal-hal yang diabaikan orang-orang, layaknya diminta memaklumi penindasan.

Kupikir dengan majunya teknologi, orang-orang akan makin pintar. Tapi tidak. Mereka justru semakin bodoh. Mereka jadi mudah dirayu iklan. Mereka mudah teperdaya. Atau mereka sebenarnya tahu tapi diam saja. Tapi tidak dengan aku. Tempo lalu aku bertengkar di mini market dengan seorang kasir gara-gara label harga. Aku minta dia menurunkan label yang tidak sesuai, aku tidak mau mengembalikan barang, juga tidak akan membayar kecuali dengan harga yang tertera dalam label. Aku membuat antrian tambah panjang. Tapi aku tak peduli. Pelanggaran macam ini tak bisa kubiarkan begitu saja. Kalau kita abai, mereka akan lebih semena-mena pada kita. Oh, semoga kau tak pernah bersamaku ketika aku berperilaku sangat memalukan ini.

Aku orang yang aneh. Tapi entah mengapa kau tak pernah bosan bilang rindu dan bertanya, “Apakah kau bahagia?”. Kau tak seharusnya merindukan perempuan pemarah seperti aku. Di kedai kopi yang terletak di antara dua pohon beringin yang kokoh dan rindang, aku marah pada televisi yang dinyalakan sepanjang hari. Aku marah melihat anak-anak dijadikan komoditas. Aku marah pada drama kontes bakat yang mengeksploitasi perasaan penonton, termasuk perasaan ayah ibuku. Ah, untuk benda laknat yang bernama televisi ini, aku tidak pernah berusaha menjadikannya kebutuhan; baik itu primer, sekunder atau tersier.

Hai, kau yang tak pernah bisa kusebut nyata.
Aku selalu ingin lekas pulang. Mendengarkan musik di kamar, membaca buku, menonton film, merokok di jendela, minum kopi, mengunyah keripik kentang, telanjang tanpa sungkan, mendengar suaramu yang berdendang, lalu rebah dan pasrah dalam pelukan malam. Di kamar ini aku menikmati banyak hal. Aku bahagia. Aku punya ruang untuk sendiri. Aku punya senyap yang begitu riuh oleh detak jantungku yang dikacaukan rindu. Aku benci saat-saat tak mampu menulis, tapi aku bahagia lantaran bisa terlelap dengan senyum. Aku bahagia. Bahagia yang amat sederhana. Kebahagiaan yang barangkali tak pernah dimengerti siapapun.

Tidakkah kau tahu, bahwa bayang-bayang seringkali lebih menghibur. Kita yang tak pernah nyata, kita yang tak pernah ada, kita yang kadang sendu, kadang meledak, membuat masing-masing dari kita terkoyak oleh harapan. Terkoyak harapan adalah bagian yang paling aku hindari sebenarnya. Aku tak begitu suka janji akan masa depan karena aku sudah berkali-kali dikecewakan. Tapi, untukmu yang tidak pernah benar-benar nyata, aku rela berbagi harapan dan menjadi melankolis sesekali. Bersamamu, aku yang barangkali tidak berwujud ini menemukan kebahagiaan yang sunyi. Kebahagiaan yang kuamini sendiri dan tak perlu repot-repot kubagi di jejaring sosial.

Aku sungguh merindukanmu, wahai kau yang tak pernah benar-benar ada. Aku merindukanmu dengan keras kepala. Sama sepertimu.

Boneka Untuk Risa

Gambar diambil dari sini.

Bayu berjalan lebih cepat, berusaha menjajari langkah kaki ayahnya yang lebar. Hatinya senang sebab ayahnya baru saja pulang dari luar kota dan mengajaknya ke toko mainan. Bayu diizinkan memilih mainan sesuka hati dan itu berarti Bayu bisa membeli mainan untuk Risa juga.

Ayah melihat-lihat mainan di etalase. Sedang Bayu sudah tak terdeteksi di mana keberadaannya. Disusurinya tiap-tiap lorong dengan berlari. Toko ini seperti surga baginya. Banyak sekali mainan yang belum ia punya, tapi entah kenapa dia tak tertarik untuk memilih salah satu. Bayu justru mencari mainan untuk Risa. Continue reading

Resistance Radio Station

Grandma started to give me a back massage, relieving the pain caused by carrying a backpack too often. She applied telon oil and her callused hands made me sleepy. I tried to stay awake, waiting for her to tell stories like she always did. Stories about her lasting youth, about Bung Tomo, about Kang Yoesoef—her idol—who was not my grandpa. My grandpa’s name was Tjipto. Yes, I remember my grandpa’s name correctly. It was Tjipto Soesanto, not Yoesoef.

However, Grandma preferred to tell stories about Yoesoef rather than about my grandpa. She still remembered the man whose whereabouts were unknown even after the war ended. I never knew my grandpa. I was born five years after he died. Continue reading

Radio Pemberontakan

Gambar diambil dari sini

Nenek mulai memijat punggungku, mengusir pegal akibat terlalu sering menggendong ransel selama perjalanan. Mula-mula seluruh punggungku diolesi dengan minyak telon. Jemarinya yang kapalan itu membuatku sedikit mengantuk. Tapi, aku berusaha tetap terjaga, menunggunya bercerita seperti yang sudah-sudah. Tentang masa mudanya yang seolah tak pernah kedaluwarsa, tentang Bung Tomo, juga tentang Yoesoef—pujaan hatinya. Bukan kakekku tepatnya. Kakekku bernama Tjipto. Ya, aku ingat betul nama kakekku Tjipto Soesanto. Bukan Yoesoef.

Tapi, nenek lebih suka bercerita tentang Yoesoef ketimbang kakekku. Rupanya nenekku masih saja terkenang pada lelaki yang tak diketahui keberadaannya setelah pertempuran berakhir itu. Perihal kakekku, aku sama sekali tak mengenalnya. Lima tahun setelah kakekku meninggal, aku lahir kemudian. Continue reading

Ce kreeekkk!

Gambar diambil dari sini

Lima menit setelah kuterima smsmu, kutinggalkan rumah dengan pakaian seadanya menuju kontrakanmu. Cemas dan gelisah bergayut sepanjang perjalanan. Hatiku tak henti berdoa semoga kamu baik-baik saja.

Sesampai di sana, gerbang terkunci. Aku melompat seperti jagoan, lalu buru-buru mengetuk pintu. Lantaran sudah berkali-kali kuketuk dan tak ada sahutan, aku mencoba membuka pintu tanpa permisi. Tak terkunci.

“Mir?”

Kupandang berkeliling. Ruang tamu kontrakanmu hampir tak bisa dikenali sebagai ruangan yang layak dikunjungi. Semua berantakan. Kutemukan kamu di sofa, meringkuk di bawah selimut. Matamu menghitam dan sedikit bengkak. Semalaman pasti kamu tidak tidur sambil menahan tangis. Continue reading

Museum Barang Hilang

Gambar diambil dari sini

Sekarang Hari Selasa, pukul tujuh pagi. Tuan Melur duduk di balik meja kerjanya yang berhadapan langsung dengan jendela. Seperti yang sudah-sudah, hari ini jadwalnya membaca buku. Dia tak ingin diganggu siapa pun kecuali aku—untuk mengantar kopi. Tapi, di dalam dia tidak sendiri, ada Leo, seekor anjing St. Bernard berumur dua tahun yang menemaninya. Anjing malas yang sedang tidur di bawah kursi.

Di luar sana, langit cerah tanpa cacat. Meski matahari sudah tinggi, namun dedaunan masih basah oleh embun. Sejauh matanya memandang, Tuan Melur hanya mendapati lanskap kultur tamannya yang teduh. Suasana yang membuatnya betah berlama-lama berada di kamar besar itu. Dia mengambil buku dari ujung mejanya dengan gerakan pelan, membuka dan mulai menjelajah halaman demi halaman. The Art Museum. Continue reading

Jeda Untuk Merenung

Gambar diambil dari sini

Segalanya sedang berhenti pada ujung hening yang meletup-letup. Kau tahu, kita berdua seharusnya tidak terjebak dalam perenungan riuh yang panjang ini. Aku sakit, kamu sakit, kita sama-sama sakit. Tapi, aku hanya ingin jujur padamu, jujur pada diriku sendiri bahwa secara perlahan-lahan hatiku tidak lagi bergetar seperti dulu. Jujur bahwa saat kita bersama aku hanya bisa bersikap dingin. Continue reading

Tentang Perjalanan

Gambar diambil dari sini

Aku selalu rindu perjalanan lantaran di sana ada ruang sempit untuk menaksir jarak antara hatiku dan hatimu. Tak peduli kulalui dengan apa perjalanan itu; bus, pesawat, kereta, kapal, angkutan, taksi, becak, sepeda, bahkan dengan kakiku. Dan, saat ini aku sedang berpikir tentang perjalanan yang tak butuh media. Perjalanan dengan sayap. Perjalanan dengan keteguhan hati. Continue reading

Satu Tahun…. (sebuah giveaway)

Yuk ikutan! Dapat hadiah buku #SuburbanLove lho 😉

celoteh .:tt:.

Bulan Februari hampir berakhir, bulan Maret segera datang. Waktu begitu cepat berlalu ya? Apakah teman-teman merasakan hal yang sama? Masih ingat bukan, 1 tahun yang lalu adalah sebuah duka bagi Jepang. 11 Maret 2011, gempa berkekuatan 9SR yang diikuti tsunami mengguncang daerah Tohoku, menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda. Gempa dan tsunami juga menyebabkan bocornya reaktor nuklir Fukushima yang menyebabkan kekhawatiran bagi banyak pihak. Tak terkecuali kekhawatiran bagi keluarga dan rekan-rekan saya. Ya, karena sepuluh hari setelah kejadian itu adalah keberangkatan saya ke Jepang. Dua puluh Maret duaribu sebelas, saya melambaikan tangan pada Bapak dan saudara-saudara saya di bandara.

Bulan depan tanggal 11 adalah 1 tahun bencana Tohoku di Jepang. Bulan depan tanggal 21 adalah 1 tahun saya berada di Jepang. Mengenang kedua hal itu, saya bermaksud mengadakan giveaway kecil-kecilan. Dan ini adalah giveaway pertama saya. Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut.

Kategori 1: Mengenang 1 tahun gempa Tohoku (non fiksi)

View original post 371 more words

Purnama Jelita

Aku masih ingat, Lebaran bulan lalu Mbak Nunik—kakak sepupuku—berbisik padaku, “Titip Habib ya, aku pengen dia banyak ngobrol sama kamu, dia anaknya tertutup. Aku pengen dia masuk Akpol”. Tapi, siapa menyangka hari itu terakhir kali aku mencium pipinya. Mbak Nunik telah berpulang pada rahim Tuhan. Menjadi kepompong. Terbungkus kain putih. Kaku. Continue reading